Dasar Pembentukan
Derap demokrasi yang cukup deras di Negeri ini, ikut membawa perubahan yang sangat besar dalam tatanan kepemerintahan, termasuk di dalamnya perubahan berbagai instrument-instrument pemerintah. Dorongan dilaksanakannya Pemilu secara langsung melalui implemetasi diselenggarakannya pemilihan presiden/wakil presiden yang sesuai dengan hati nurani rakyat, beserta Lembaga Legislatif yang secara langsung sangat mempengaruhi kelanggengan transformasi kepemimpinan, hal ini cukup dimaklumi mengingat gencarnya tuntutan masyarakat terhadap reformasi dan pemberantasan korupsi.
Dipundak pimpinan pemerintahan yang baru beserta pembantu-pembantuny a inilah harapan kita kelak dalam menata arah dan kebijakan bangsa ini ke depan. Sebagai impelementasinya Pemerintah telah mengumumkan lembaga kabinet untuk membantu presiden, yang disebut KabinetIndonesia Bersatu, tepatnya tanggal 20 Oktober 2004 dilakukan pelantikannya. Tidak diduga sebelumnya wajah kabinet Indonesia mengalami banyak perubahan, salah satu diantaranya munculnya kembali departemen yang tercinta yakni DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM, sebagai mana selama ini telah dua kali pada kabinet sebelumnya mengalami perubahan nomenkelatur yaitu, Departemen Pengembangan Wilayah, dan Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Pada sisi lain dengan adanya perubahan nomenkelatur departemen, lkut juga berubah nomenkelatur Direktorat Jenderal dan unit-unit di bawahnya, yang selama ini mengacu pada kebijakan pendekatan wilayah, menjadi pendekatan sektoral. Sebut saja dalam hal ini, melalui Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005, telah dibentuk Direktorat Jenderal Cipta Karya, yang selama ini sering disebut Direktorat Jenderal Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan, dan pada tanggal 13 Mei 2005, melalui Keputusan Presiden Nomor 72 Tahun 2005 telah dilantik pejabat Direktur Jenderal.
Dibentuknya Direktorat Jenderal Cipta Karya, tentu saja mengingatkan kita bahwa pendekatan yang dilaksanakan melalui sektoral, tentunya harapan untuk memberikan dukungan melalui penyediaan infrastruktur ke ciptakaryaan dapat ditingkatkan lagi.
Berbagai Program yang digariskan untuk mendukung kebijakan pembangunan bidang keciptakaryaan, antara lain: (i) Penyelenggaraan Pembangunan Infrastruktur PU dalam mewujudkan perumahan dan permukiman yang berkelanjutan; (ii) Peningkatan Penyehatan Lingkungan Permukiman baik di perkotaan maupun di perdesaan; (iii) Peningkatan mobilitas dan akses prasarana jalan dan jembatan dalam rangka menggerakkan ekonomi perdesaan dan perkotaan yang terintegrasi dalam keseimbangan pengembangan wilayah; (iv) Peningkatan Pelayanan infrastruktur perdesaan, kawasan agropolitan, kawasan perbatasan, pulau-pulau kecil, dan daerah tertinggal; (v) Peningkatan produktivitas fungsi kawasan perkotaan dan revitalisasi kawasan bersejarah, pariwisata, dan kawasan lainnya yang menurun kualitasnya; (vi) Pembinaan bangunan gedung dalam rangka memenuhi standar keselamatan dan keamanan bangunan: (vii) Maeningkatkan kapasitas pemerintah daerah dan masyarakat dalam pengelolaan pembangunan infrastruktur PU (Capacity Building): (viii) Mewujudkan kebijakan dan tata laksana yang efektif, organisasi yang efisien, SDM yang profesional dengan menerapkan prinsip good governance; (ix) Penanggulangan dampak konflik sosial dan bencana bersama dengan daerah dalam rangka tanggap darurat.
Kondisi yang mempengaruhi
Kehati-hatian pembentukan Kabinet Gotong Royong berikut institusi pendukungnya, sangatlah beralasan, mengingat situasi yang terjadi menunjukkan kecenderungan yang kurang menguntungkan, antara lain : (i) Timbulnya permasalahan daerah yang dihadapi semakin kompleks atau multi dimensional; (ii) Terjadinya degradasi sosial masyarakat yang semakin tajam dan mengarah pada terjadinya kenflik sosial masyarakat di berbagai daerah; (iii) Semakin meningkatnya jumlah masyarakat miskin dan pengangguran, terutama di daerah perkotaan; (iv) Perkembangan Sektor Informal yang kurang terkendali; (v) Terjadinya degradasi daya dukung lingkungan baik di perkotaan maupun di perdesaan; (vi) Keterbatasan tersedianya infrastruktur perkotaan dan perdesaan yang dapat mendukung pengembangan perekonomian local; (vii) Semakin menurunnya efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pelayanan umum; (viii) Masih terbatasnya pemahaman tentang penyelenggaraan pemerintahan yang baik (Good Governance and Management); (ix) Kerjasama yang masih kurang kondusif antara Eksekutif dengan Legeslatif; (x) Proses desentralisasi masih diperlukan pemantapan dalam masa-masa transisi tersebut;
Tantangan dan Permasalahan yang dihadapi
Tantangan utama yang dihadapi pada masa-masa digalakkannya pendekatan desentralisasi ialah bagaimana mendorong daerah agar lebih efektif mempraktikkan "good governance" dan "sustainable development", di seluruh aspek kebijakan pembangunan perkotaan dan perdesaan (yang meliputi : lingkungan, ekonomi, sosial, perumahan dan permukiman, prasarana dan sarana dan lain-lain).
Secara umum tantangan eksternal yang dihadapi oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya adalah: (i) Pertumbuhan ekonomi yang masih jauh di bawah 7 %; (ii) Jumlah pengangguran 9,5 juta jiwa dan setengah pengangguran 31 juta; (iii) 16 % jumlah penduduk di bawah garis kemiskinan; (iv) Pelaksanaan prinsip Good Governance yang masih lemah; (iv) Pelaksanaan pembangunan yang belum secara konsisten mengacu pada rencana tata ruang; (v) Terbatasnya pelayanan prasarana dan sarana, padahal kebutuhan terus meningkat.
Di samping hal tersebut di atas, terdapat berbagai permasalahan internal pembangunan, antara lain: (i) pertumbuhan kota yang tidak terkendali meluas sampai pada kawasan pertanian produktif dan kawasan lindung (urban sprawl); (ii) Masih dijumpai permukiman kumuh (sekitar 47 ribu ha) yang memerlukan peningkatan kualitas lingkungan; (iii) Pelayanan PDAM sebagai penyedia air bersih sebagian besar (90 %) tidak sehat, dengan sistem air bersih terbangun melayani 40 % penduduk perkotaan dan di perdesaan (9 %); (iv) Pelayanan sistem pengolahan air limbah terpusat hanya pada (11) kota; (v) Sarana lingkungan hijau/open space yang kurang diperhatikan; (vi) Prasarana dan sarana hidran kebakaran yang juga kurang diperhatikan; (vii) Kesenjangan infrastruktur PU antar wilayah, antara perdesaan dan perkotaan; (viii) Kesenjangan antara kawasan Barat dengan kawasan Timur Sumatera, dan antara infrastruktur Jawa Selatan dengan Utara; (ix) Disparitas ekonomi ditunjukkan pula kontribusi kawasan telah berkembang (Jawa-Sumatera) pada Ekonomi Nasional 81 %.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar